Islam dan Spirit Kemerdekaan

فَإِذَا عَرَفْتَ السَّبَبَ تَعَيَّنَ الْمُرَادُ

“Ketika engkau tahu latar belakangnya, maka jelaslah sesuatu yang dimaksud di dalamnya” (Pepatah Arab).

Di Indonesia, peringatan proklamasi kemerdekaan yang jatuh setiap tanggal 17 agustus dirayakan dengan berbagai macam bentuk perayaan, mulai dari upacara pengibaran sang saka merah putih, menyanyikan lagu kebangsaan, berbagai event perlombaan atau yang lain sebagainya.  Masyarakat merayakannya sebagai bentuk pengaplikasian ucapan rasa syukur atas nikmat besar tersebut. Berbagai perayaanpun digelar, mulai dari lingkup yang terkecil di tingkat desa hingga merambah sampai tingkat nasional di Istana Merdeka, Jakarta. Bahkan sebagian kalangan begitu antusias merayakan agenda tahunan bangsa tersebut.

Namun sangat ironis, ketika dibalik semua euforia itu mereka acuh tak acuh atas filosofi dan spirit kemerdekaan yang sebenarnya. Lebih dalam lagi, dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia merupakan salah satu kesempatan untuk mengingatkan kembali spirit perjuangan para Founding Father’s dalam memperjuangkan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan selama berabad-abad lamanya. Sehingga momentum berharga tersebut tidak hanya sebatas simbolis tahunan belaka yang hanya lewat seperti angin lalu. Namun lebih dari itu, dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia benar-benar dimanfaatkan sebagai ajang untuk intropeksi diri (Muhasabah An-Nafs) dan memacu semangat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dari sebelumnya.

Secara ringkas, ada beberapa hal yang menjadi poin penting dalam menumbuhkan spirit membangun kemerdekaan dalam mengisi dan melanjutkan estafet peradaban bangsa Indonesia, diantaranya adalah:

Semangat Bela Negara

 “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”, merupakan salah satu jargon monumental yang dikemukakan oleh Hadlrotus Syaikh KH. Hasyim As’ari dalam membakar semangat bela negara dan nasionalisme kebangsaan. Meskipun penggalan kalimat singkat tersebut bukan termasuk hadis, namun secara esensial tidak jauh beda dengan hadis Rasulullah Saw yang menjelaskan tentang ungkapan kecintaannya terhadap kota suci Makkah. Sebagimana penuturan dari sahabat Ibnu Abbas Ra yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Hibban Ra:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلْدَةٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ

Dari sahabat Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda; Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kauku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di selainmu,” (HR. Ibnu Hibban).[1]

Dengan penerapannya yang disesuaikan dengan konteks kebutuhan saat ini, semangat bela negara dapat mengakhiri episode berdarah umat manusia dan menciptakan dialog kehidupan yang rukun dan damai. Bahkan sangat diperlukan untuk memperkuat sendi-sendi kenegaraan dari berbagai paham radikalisme, ekstrimisme, dan semacamnya yang merongrong kebhinnekaan bangsa ini.

Dalam konteks kekinian, aksi nyata dalam semangat bela negara dapat diaplikasikan dengan menjalankan kewajiban sebagai warga negara sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing individu masyarakat. Karena dengan begitu, implementasi nyata semangat bela negara dan nasionalisme tidak hanya terbatas pada perlindungan negara, melainkan menjadi sebuah usaha ketahanan, kekuatan, dan kemajuan di berbagai aspek kehidupan.

Menguatkan Simbiosis Agama dan Negara

Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan:

وَالْمِلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ

“Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”.[2]

Sekilas, statement yang dilontarkan Imam Al-Ghazali tersebut mengarah kepada pemahaman bahwa antara agama dan negara merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan.  Dengan artian, keduanya saling membutuhkan untuk saling memperkokoh antara satu dengan yang lainnya. Dan ternyata hal tersebut dirumuskan demi terciptanya kemaslahatan global dalam porsi dan koridor masing-masing, baik yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan maupun kehidupan kenegaraan.

Rumusan tersebut bukan bertujuan untuk menumbuhkan asumsi terhadap bentuk hegemoni agama atas negara. Namun cenderung dititikberatkan kepada aspek munculnya norma keagamaan ke dalam ruang publik dan tatanan kenegaraan hanya sebagai nilai moral publik atau etika sosial semata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.