Diceritakan bahwa Abu Yusuf Ya’qub bin Yusuf memiliki seorang sahabat. Beliau terkenal sebagai seorang yang wara’ dan takwa, meski orang-orang mengenal sahabat karibnya itu sebagai orang fasik dan pendosa. Sudah 20 tahun Abu Yusuf melakukan tawaf di sekitar Ka’bah bersamanya. Tidak seperti Abu Yusuf yang berpuasa terus menerus, sahabatnya ini melakukan sehari puasa sehari berbuka. Memasuki bulan Dzulhijjah, sahabat Abu Yusuf ini menunaikan puasa secara sempurna, yakni puasa 10 hari di bulan dzulhijjah.
Kendati Beliau berada di padang sahara yang tandus. Bersama Abu Yusuf, Beliau masuk Kota Thurthus dan menetap di sana untuk beberapa lama. Di tempat gersang inilah, persisnya di sebuah kawasan reruntuhan bangunan, Beliau wafat tanpa seorang pun yang tahu kecuali Abu Yusuf.
Abu Yusuf pun keluar mencari kain kafan. Alangkah kagetnya tatkala dirinya kembali. Ia menyaksikan kerumunan orang berkunjung, mengafani, sekaligus menyalati jenazah sahabatnya tersebut di tempat yang semula tak berpenghuni. Karena begitu ramainya, Abu Yusuf sampai tak bisa memasuki reruntuhan bangunan itu. Para pelayat menyebut-nyebut karibnya sebagai orang yang zuhud dan termasuk dari kekasih Allah (waliyullah).
“Subhanallah, siapa yang mengumumkan kematiannya hingga orang-orang berbondong-bondong bertakziah, menyalati, dan menangisi kepergiannya?” tanya Abu Yusuf. Setelah melalui perjuangan keras, Abu Yusuf akhirnya berhasil menghampiri jenazah sahabatnya tersebut dan terperanjat saat melihat kain kafan yang tak biasa.
Pada kain itu tercantum tulisan berwarna hijau:
هذا جزاء من آثر رضا الله على رضا نفسه وأحب لقاءنا فأحببنا لقاءه
“Inilah balasan orang yang mengutamakan ridha Allah daripada ridhanya sendiri. Orang yang rindu menemui-Ku dan karenanya Aku pun rindu menemuinya.”