Cahaya Islam yang Terhalang

Photo by Refhad on Unsplash

“AlIslamu Mahjubun bil Muslim. Kalimat yang dilontarkan oleh pembaharu Islam, Muhammad Abduh tidak keluar begitu saja dalam pemikirannya. Namun, hal itu sudah menjadi realita tatkala dua murid Muhammad Abduh asal Perancis “muallaf” merasa terkagum-kagum dengan salah satu ajaran agama Islam tentang kesucian dan kebersihan, hingga ia mencapai cahaya islami.

Akan tetatpi semua itu berubah ketika murid tersebut merasa kecewa ketika melihat fenomena yang berbalik 3600 dengan ajaran-ajaran yang didapat dari gurunya tersebut, tatkala mereka datang dari jauh meyebrangi lautan benua menuju Mesir untuk mencari gurunya. Di pelabuhan milik umat Muslim yang dibayangkan sebagai umat cinta kebersihan, justru didapati orang yang sedang kencing sambil berdiri disembarang tempat.

Islam yang katanya mengedepankan kesucian dan kebersihan, nyatanya dinodai oleh pemeluknya. Sungguh tampak nyata bahwa cahaya Islam telah tertutup oleh Muslim itu sendiri.

***

Banyak tamsil lain yang menggambarkan bahwa cahaya Islam semakin tertutup. Misalnya, cahaya Islam tertutup dengan ideologi-ideologi beberapa pemeluknya yang menyimpang. Berevolusi menjadi Islam bertopeng suram dan mencekam. Berbagai paham-paham Islam garis keras (radikalisme) tumbuh berkembang, seiring doktrin yang mentafsirkan al-Quran dengan keliru. Yang berpandangan sebatas tekstualitas pada ayat-ayat al-Quran tanpa dibarengi dengan berbagai ilmu tafsir dan ilmu alatnya. Berbanding terbalik dengan Islam zaman dahulu yang benar-benar menjadi rahmat bagi sesama, sesuai ajaran Rasulullah Saw.

KH. Aqil Said Siroj mengungkapkan: “Kelompok yang paling ngaku Islam, tetapi jauh dari nilai-nilai Islam, seperti ciri-ciri mereka yang kita kenal hari ini. Yang sangat intoleran, gemar sebarkan fitnah dan adu domba sesama kaum Muslimin. Mereka bukan representasi Islam.”

Lebih lanjut, dewasa ini telah muncul kembali negara bentukan paham radikal. Afganistan, negara bersistem pemerintahan Taliban, berkonsep egoisme yang mengatasnamakan Tuhan dan agama. Terlebih citra agama Islam semakin tenggelam di mata orang-orang non-Muslim, serta dipandang miring oleh sesama Muslim sendiri. Islam seolah menjadi fobia (ketakutan berlebihan pada hal yang berbau Islam).

Lantas dalam kondisi seperti ini, siapa yang patut disalahkan? Pemerintahan Muslim, tokoh Muslim, Muslim yang radikal, Muslim awam? Tentu tidak. Tidak patut bagi kita untuk mencari pihak yang dimintai pertanggungjawaban dan dipersalahkan.

Seyogyanya, kita sendiri yang harus berdiri tegak menjunjung tinggi nama besar Islam dan menyulutkan kembali cahaya kerahmatan Islam pada alam semesta. Lantas apa kita pantas dengan beban ini, atau merasa tidak pantas? Dan memilih diam seribu bahasa, mengiyakan saja kesalahan saudara Muslim kita yang merusak citra Islam? Justru ini menjadi kewajiban kita, bukan beban. Bagaimana seorang Muslim harus menjadi agent of Muslim yang membawa Islam rahmat bukan Islam yang laknat.