Saat aku mengutarakan keinginanku untuk masuk universitas, ibu bilang, agar supaya aku meneruskan pendidikan ke pesantren. Ibu berpesan bahwa ini merupakan wasiat bapak sebelum meninggal dua tahun silam. Ibu juga sering membicarakan tentang “Lanjutkan perjuangan Bapak” yang sepenuhnya tidak kumengerti.
Jiwa mudaku jelas memberontak. Selama ini aku telah memendam kekecewaan mendalam pada bapak. Suami yang tidak peduli melihat istrinya setiap hari berjuang mencari penghidupan. Ayah yang tidak menyaksikan prestasi demi prestasi yang diraih anaknya. Kepala keluarga yang telah gagal membahagiakan keluarganya.
Bapak selalu pulang larut malam dengan wajah yang lelah. Ada di rumah untuk beberapa hari demi untuk kembali pergi tanpa ada kabar dan waktu yang jelas. Berkali-kali aku bertanya pada ibu tentang pekerjaan bapak. Tapi, sebagai jawabanya ibu selalu memberikan nasihat “untuk saat ini kau belum perlu tahu. Tapi cukuplah bagimu untuk tidak berprasangka buruk terhadap bapakmu.” Jawaban yang jelas selalu bertolak belakang dengan hatiku yang terlanjur kecewa terhadap bapak. Bapak terlah menaburkan benih-benih prasangka buruk di hatiku, juga telah menghilangkan makna kebahagiaan dalam keluarga ini.
***
Malam hari, pikul 23.00 Wib, 1 tahun silam.
Hujan turun lebat. Petir ganas menyala, mengerikan. Memantulkan cahaya dari sebilah pisau yang digenggam oleh sosok bertubuh kekar di balik dinding salah atu rumah. Dengan nafas menderu, ia berlari seperti babi hutan. “Mati kau Basyir!” suaranya berteriak kalap. Sontak, pemuda yang tidak asing dengan nama itu menoleh, mencari suara di belakangnya. Dan, sebelum ia sempurna memutar lehernya, mata pisau yang berkilau telah siap menembus lehernya.
Namun, di saat yang menebarkan tiba-tiba suara letupan peluru terdengar, suaranya mengagetkan pemuda itu. Dan seketika tubuh kekar itu telah tumbang, telungkup di depannya. Darah segar merambas dari balik punggung bajunya. Ia semakin tidak mengerti, apa sebenarnya yang terjadi. Dan belum selesai ia mengatur nafasnya, sosok lain dengan langkah mantap berjalan mendekatinya. Pemuda itu telah siap dengan jurus kaki seribu bila sosok itu tidak menghentikannya terlebih dahulu.
Sosok itu pun telah berdiri di hadapan pemuda itu. Dengan tanpa mengurangi raut muka yang garang di wajahnya, ia paksakan tersenyum ramah dan menyapa pemuda itu.
“Assalamualaikum?”
“Wa’alaikumsalam,” jawabku gemetaran.
“Mas tidak apa-apa?” Tanya laki-laki itu.
Aku mengangguk. Aku punya firasat bahwa ia orang baik. Dengan tubuh gemetar aku beranikan bertanya.
“Kalau boleh tahu, Mas siapa? Dan siapa pula orang tadi? Apa yang sebenarnya terjadi?” aku langsung membrondongnya dengan pertanyaan.