Untuk memajukan sebuah bangsa kemandirian ekonomi merupakan kewajiban yang tidak bisa ditawar. Bagaimana bisa dikatakan maju, jika sebuah bangsa masih saja bergantung pada negara lain dalam bidang ekonomi.
Untuk itulah Presiden pertama kita, Soekarno, atau yang populer dipanggil Bung Karno pada masa-masa awal perjuangan kemerdekaan telah menyuarakan mengenai kemandirian ekonomi.
Gagasan mengenai kemandirian ekonomi tersebut antara lain dapat ditemukan pada pidato pembelaannya ‘Indonesia Menggugat’ ketika Bung Karno menghadapi pengadilan kolonial di Bandung, 92 tahun yang lalu, tepatnya pada 18 Agustus 1930. Konsep kemandirian ekonomi Bung Karno tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kolonialisme Belanda telah menimbulkan kesengsaraan rakyat berikut ekses lainnya di bidang ekonomi.
Dalam sejarah agama islam kemandirian ekonomi sudah diajarkan bahkan sejak zaman nabi-nabi terdahulu.
Dalam sebuah Riwayat diceritakan bahwa dahulu nabi Daud as. adalah seseorang yang dihormati dan dijadikan panutan oleh banyak orang. Hal ini tak lepas dari kedudukan beliau sebagai raja yang senantiasa mengayomi rakyatnya.
Salah satu kebiasaan nabi bangsa isra’il ini adalah saat pergi keluar dan berjumpa dengan seseorang yang tidak mengenalinya, maka ia akan menanyakan pendapatnya mengenai kepripadian nabi Daud as. alias dirinya sendiri.
“Bagaimana menerutmu tentang nabi Daud?”
Maka dengan bangganya orang tersebut akan menyebutkan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan oleh pemimpin serta panutannya itu seraya memujinya.
Hingga pada suatu saat berjumpalah nabi Daud dengan orang yang tanpa beliau sadari merupakan jelmaan dari malaikat. Seperti biasa, nabi menanyakan kepribadiannnya sendiri kepada orang yang ia temui.
“Bagaimana menerutmu tentang nabi Daud?”
Malaikat menjawab; “Lelaki yang paling banyak dikaruniai kenikmatan di dunia adalah nabi Daud, hanya saja ada satu hal yang patut untuk disayangkan!!!”
Mendengar pernyataan tersebut nabi tercengang, dengan rasa penasaran melanjutkan pertanyaannya;
“Apa satu hal tadi wahai hamba allah?”
Sang malaikatpun menjawab; “Meskipun nabi Daud adalah seorang raja yang sangat baik namun ia masih mengandalkan uang dari kas negara sebagai penopang ekonomi bagi dirinya dan keluarganya.”
Setelah mendengar jawaban itu nabi Daud sadar bahwa penopang ekonominya selama ini merupakan sesuatu yang kurang baik bagi kepribadian seorang pemimpin. Mulai saat itu juga nabi berdoa kepada Allah Swt. agar memberikan anugrah berupa ketrampilan bekerja. Itu semua demi melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kas negara. Allah Swt. pada akhirnya mengabulkan permintaan kekasihnya dengan memberikan anugrah ketrampilan dalam memproduksi pakaian perang. Sehingga terukir dalam tinta sejarah bahwa pembuat baju perang pertama adalah nabi Daud.
Beliau nabi Daud juga berhasil membangun kemandirian ekonomi. Bahkan, hasil dari keahlian tersebut dapat dinikmati masyarakat khususnya orang-orang fakir miskin.
Cerita tersebut sebagaiman terukir dalam Al-Quran surat saba’ ayat 10 dan 11;
وَلَقَدْ آتَيْنا داوُدَ مِنَّا فَضْلاً يَا جِبالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ (سورة سبأ : 10) اَنِ اعْمَلْ سٰبِغٰتٍ وَّقَدِّرْ فِى السَّرْدِ وَاعْمَلُوْا صَالِحًاۗ اِنِّيْ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Perlu diketahui bahwa ayat di atas sejatinya merupakan ayat al-qhissoh (ayat yang menerangkan tentang cerita umat terdahulu). Mengenai ayat al-qhososh, syaikh Abu Abdillah Badr ad-Din Muhammad ibn Abdillah ibn Bahadur az-Zarkasyi menjelaskan dalam al-Burhan Fi Ulum Al-Quran, bahwa ayat yang berisi tentang cerita dapat digali hukum darinya. Perinciannya, jika cerita yang ada diiringi ungkapan pujian dan motifasi maka apa yang ada dalam cerita tersebut merupakan anjuran atau bahkan kewajiban yang harus dilaksanakan. Namun jika isi cerita diiringi ancaman dan rusaknya tokoh dalam cerita maka apa yang ada dalam cerita tersebut merupakan tindakan yang tidak patut ditiru atau bahkan dilarang untuk dilakukan.
hal Inipun mendukung pernyataan yang pernah diungkapkan oleh syaikh Al-Qurtubhi dalam tafsir beliau bahwa ayat 10 dan 11 surat Saba’
فِيْ هَذِهِ الآيَةِ دَلِيْلٌ عَلَى تَعَلُّمِ أَهْلِ الْفَضْلِ الصَّنَائِعَ، وَأَنَّ التَّحَرُّفَ بِهَا لَا يُنْقِصُ مِنْ مَنَاصِبِهِمْ، بَلْ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِيْ فَضْلِهِمْ وَفَضَائِلِهِمْ، إِذْ يَحْصُلُ لَهُمْ التَّوَاضُعُ فَيْ أَنْفُسِهِمْ وَالْاِسْتِغْنَاءُ عَنْ غَيْرِهِمْ، وَكَسْبِ الْحَلَالِ الْخَلْيِ عَنْ الْاِمْتِنَانِ
“Ayat tersebut merupakan dasar disyariatkannya belajar bagi orang yang mempunyai keutamaan terhadap ilmu yang berhubungan dengan pekerjaan. Dan pekerjaan yang mereka lakukan sejatinya tidaklah mengurangi derajat mereka. Bahkan hal itu merupakan suatu kelebihan tersendiri. Sebab, dengan mereka tetap bekerja untuk menopang ekonomi maka akan tertancap sifat tawadu dan otomatis merekapun akan terhindar dari bersandar kepada orang lain serta berpenghasilan yang murni terhindar dari rasa pamrih.”
Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda
كَانَ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا يَأْكُلُ إِلَّا مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Nabi daud as tidaklah makan kecuali dari hasil jerih payah tangan belaiu sendiri”
Syeikh ibn Hajar al-Asqolani dalam Fath al Bariy menjelaskan, bahwa sebenarnya para nabi merupakan orang-orang yang senantiasa membangun ekonomi mandiri melalui ketrampilan masing masing seperti nabi Adam sebagai petani, nabi Nuh sebagai tukang kayu dan lain sebagainya. Dari beberapa kisah para nabi sebagai pembangun ekonomi mandiri nabi Daudlah yang dipilih oleh nabi Muhammad sebagi hujjah ekonomi mandiri dalam sabda beliau.
Hikmah dibalik pemilihan sabda ini tak lepas dari latar belakang nabi Daud yang memegang kedudukan sebagai raja yang pastinya tidak akan membutuhkan pekerjaan lain untuk menyambung hidup. Akan tetapi dengan posisi tersebut nabi Daud tidak berpangku tangan dengan mengandalkan baitulmal sebagai penghasilannya.
Sehingga yang ingin ditunjukkan oleh baginda nabi Muhammad Saw. adalah syariat nabi-nabi terdahulu yang merupakan teladan bagi umat setelahnya termasuk umat nabi Muhammad Saw.
Dari sinilah, saatnya kita mengembangkan ekonomi mandiri kita jangan sampai kita bersandar kepada orang lain, jangan sedikitpun merasa malu untuk bermandiri dalam ekonomi sebab itulah syariat kita dan syariat para umat sebelum kita bahkan nabi adam as.
Sekian semoga bermanfaat. Waallahu a’lam bi as shawab.
Baca Juga: Tinjauan Fiqh Pembuatan Patung Garuda, MUNAS HIMASAL Ke IV & MUNAS I LIM
Dukung Akun Youtube Kami: Lirboyo
6