Kondisi kenegaraan dan kebangsaan dekade belakangan ini sangat miris dan perlu untuk di tegak ulangkan. Karena wabahnya tidak hanya menasional tapi sudah mengglobal. Kalau kita perhatikan, banyak sekali negara di dunia, dewasa ini mengalami hal yang sama tentang kenegaraan; krisis nasionalisme. Rong-rongan pada kewenangan pemerintah banyak sekali kita jumpai, dengan berbagai cara di lakukan.melalui ideologi, penyuapan budaya baru, kebijakan berpolitik, sampai pada tindakan sparatis atau bahkan pendidikan. Imbasnya, tidak sedikit terjadi bentrok fisik antara kelompok oposisi dan pemerintah. Atau sampai terjadi referendum, seperti yang terjadi di Spanyol baru-baru ini. yang kesemuaannya kebanyakan adalah ambisi golongan belaka dan mengabaikan kepentingan umum ketika di pandang dari sudut kenegaraan.
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasipun dan bahkan menjadi contoh negara muslim atau non muslim yang paling sukses dalam meramu agama sebagai dasar bernegara secara eksplisit, tak pernah sepi dari hal demikian tadi. Kelompok anti pemerintah begitu getol untuk menunaikan keinginan sepihaknya. Pemerintahpun tidak tinggal diam, dengan mengambil kebijakan-kebijakan guna melindungi bahtera NKRI dari serangan Ideologi anti Pancasila.
Organisasi sosoial kemasyarakatan, yang terbentuk dari kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, tujuan dan lain-lain, rupanya di jadikan lahan empuk oleh sebagian kalangan untuk menggalang massa dan memenuhi kepentingannya.
peraturan pemerintah yang mengatur mengenai keormasan yakni Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan kurang begitu menyeluruh dan antisipatif dalam cakupan kedepannya, karena itulah di ganti dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017, namun sayang, kehadirannya di rasa sedikit ‘telat’, karena datang setelah ormas yang berseberangan dengan cita-cita pemerintah telah kuat dalam struktural, keuangan dan kuantitasnya.
Meskipun dengan di terbitkannya perppu yang baru ini sudah menjerat satu ormas, tapi ingat, ideologinya, pemikirannya masih ada dan mungkin masih bisa muncul di permukaan dengan tampilan wajah baru, dan ini mungkin yang perlu di waspadai.
Ketok palu terhadap peraturan ini juga tidak lepas dari pro-kontra masyarakat atau sekaligus ormas yang merasa di rugikan, mereka terus menyuarakan penolakannya. Dalih yang mereka gunakan untuk menolak aturan pemerintih ini juga bermacam-macam, seperti mengatakan bahwa undang-undang baru ini begitu represif terhadap islam, yang anti islamlah, otoriter, mendiskriminasi golongan tertentu, mempersempit ruang gerak dalam berdemokrasi, mengatakan kalau pemerintah telah memulai rezim diktator dan seabreg alasan lainnya.
Kalau kita mencoba mengamati lebih dalam poin-poin yang terkandung dalam putusan UU ini, dengan kepala dingin tentunya, dan bersih dari pikiran-pikiran kotor. Akan kita temui tujuan fundamen dan dasar yang di cetuskan pemerintah. Tanpa ada niatan untuk mendiskriminasikan kelompok tertentu seperti tudingan-tudingan yang di kemukakan di atas, apalagi putusan pemerintah ini juga mendapat legalitas dan dukungan dari syara’ yang pasti syarat dengan maslahat.
Alasan-alasan penolakan dari berbagai golongan di atas, kiranya terlalu memaksakan diri. Pun ketika memang hendak membandingkan, antara kandungan perppu ini dengan tuduhan-tuduhan miring yang di lancarkan, seharusnya juga harus sepadan untuk di bandingkan.
Di contohkan ketika membandingkan kebaikan mana yang di pilih antara pemimpin Non-Muslim yang bijak dan mempunyai integritas yang tinggi dalam bekerja dengan pemimpin muslim tapi korup atau cacat visi dan misi, ini tidaklah sebanding, seharusnya dengan menghadapkan antara pejabat non muslim yang berintegritas dengan pejabat non muslim yang cacat visi misi, bukan dengan pejabat muslim.
Dalam kasus inipun hendaknya demikian, dalih bahwa pemerintah mempersempit ruang gerak kelompok tertentu dan lain-lainnya, harus di cermati, isi kandungan perppu ini dan juga sasarannya tidak sempit hanya pada kelompok tertentu, agama tertentu atau lebih-lebih pada ormas secara spesifik, meskipun toh penyebab direvisinya peraturan ini tak lepas dari aksi-aksi satu-dua kelompok. mudahnya, jauh panggang dari api.
Dawuh Mawlana al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya :
“Khilafah tidak akan cocok diterapkan pada zaman sekarang, saudara-saudara kita di papua, kalimantan, bali dll bisa memisahkan diri dari Indonesia jika khilafah dipaksakan di Indonesia, sebab Indonesia negara yg plural terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa .”
beliau melanjutkan :” Jika khilafah diterapkan lantas siapa yg akan menjadi khalifahnya? Apakah dari NU, Muhammadiyah, HTI atau yang lain? Apakah semua akan menerima kalau kholifahnya dipegang oleh salah satu ormas? Oleh karena itu konsep NKRI itu sudah final harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi ”
Harapannya, dengan adanya perppu ini, NKRI yang menjadi cita-cita luhur para pendiri bangsa bisa terus terjaga dengan tetap semangat berpancasila dan berbhineka tunggal ika. amiin
0