Islam Nusantara Potret Peradaban Madani

Islam Nusantara

Penulis: Muhammad Fajrul Falah
1400 tahun lebih telah berlalu sejak Islam muncul pertama kali di muka bumi, tepatnya di kota suci Makkah al-mukarramah yang terletak di Jazirah Arab, barat daya Benua Asia. Dalam perjalanannya Islam secara signifikan terus meluas ke seluruh penjuru dunia, baik melalui proses invasi ataupun metode yang lainnya. Beriringan dengan perluasan wilayah Islam tersebut, berbagai dinamika keagamaan muncul sebagai akibat dari proses perkembangan Islam menjadi “peradaban madani” di seluruh dunia. Sesuai dengan visi dan misinya yakni menjadi agama yang rohmatan lil ‘alamin.
Islam Nusantara Potret Peradaban Madani

Pada kenyataanya, usaha untuk mewujudkan Islam sebagai agama rohmatan lil ’alamin tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai rintangan siap menghentikan upaya para mujahid yang berjuang atas nama Allah demi mewujudkan visi dan misi Islam yang ramah di seluruh penjuru dunia. Salah satu faktor penting yang menghambat upaya tersebut adalah variasi budaya dan basic seluruh umat manusia di muka bumi. Apalagi, beberapa komunitas masyarakat di dunia memiliki tingkat fanatisme yang tinggi terhadap budaya mereka—sehingga akan cukup sulit untuk mengenalkan dan memasukkan budaya baru, seperti agama Islam dalam komunitas tersebut.

Namun bagi Islam, perbedaan budaya dan basic umat yang menjadi obyek dakwahnya tidaklah masalah. Karena sesuai dengan visi dan misinya menjadi agama rohmatan lil ‘alamin. Islam adalah agama yang global, sehingga Islam akan relevan di berbagai belahan dunia dengan karakter manusia yang sangat variatif. Apalagi, relevansi agama Islam, yakni agama yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah sebagai agama bagi seluruh umat di dunia, telah dipatenkan oleh Allah dalam firman-Nya :

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan kepada seluruh (umat) manusia sebagai pembawa kabar gembira (bagi orang mukmin) dan pemberi peringatan (bagi orang kafir). Hanya saja, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (QS. Saba’: 28)

Sehingga dapat difahami bahwa risalah yang dibawa Rasulullah Saw. akan tetap relevan bagi seluruh umat manusia, menembus segala ras dan budaya. Selain itu, Islam merupakan agama yang bersifat koperatif.

Kooperatif (Bersifat kerja sama)

Sifat koperatif itulah yang menjadi katalis dalam proses penyebaran dan pengukuhan di seluruh penjuru dunia. Mengapa demikian? Dalam ilmu sosiologi, telah diperkenalkan istilah akulturasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses percampuran dua budaya. Dalam proses akulturasi, dibutuhkan karakter koperatif oleh budaya terkait agar terbentuk jalan terbuka yang menjadi konjungsi di antara 2 budaya tersebut. Yang nantinya—konjungsi itu akan memunculkan koherensi di antara 2 budaya terkait sebagai manifestasi dari keberhasilan proses akulturasi. Sehingga melaui karakter koperatif inilah, Islam mudah berakulturasi dengan berbagai budaya, serta mudah beradaptasi dan diterima di seluruh belahan dunia.

Adaptif (Mudah menyesuaikan)

Selain karakter koperatif, adaptif adalah karakter yang tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama Islam. Karakter adaptif yang dimiliki oleh Islam adalah salah satu implikasi dari karakter koperatif, yakni salah satu karakter yang juga dimiliki oleh agama Islam. Seperti yang telah diurai sebelumnya, karakter yang dimiliki oleh Islam telah mampu mengantarkan Islam sebagai agama yang mudah berakulturasi dengan berbagai budaya serta mudah beradaptasi dan diterima di seluruh penjuru dunia—menuju cita-citanya menjadi agama yang rohmatan lil ‘alamin. Dari karakter adaptif ini, Islam menjadi agama yang sangat kaya akan budaya akibat dari tingginya angka akulturasi. Dari karakter ini pula, muncul sebuah slogan yang sangat populer dikalangan ahlus sunnah wal jama’ah yakni:

المحافظة على القديم الصالح و الأخذ بالجديد الأصلح

“Menjaga (budaya) klasik yang baik dan mengambil (budaya) baru yang lebih baik”

Karakter koperatif-adaptif Islam, juga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai toleransi yang menjadi salah satu ruh dalam dunia religi agama ini. Nilai-nilai toleransi yang ditampakkan oleh Islam melalui berbagai ajaran syariatnya, mengindikasikan bahwa Islam adalah agama dinamis yang akan berkembang dan terus menerus relevan dengan berbagai keadaan. Karakter toleransi ini pula yang diamalkan dan ditunjukkan oleh para penganut agama Islam. Sehingga Islam dengan mudah dapat diterima tanpa ada unsur paksaan. Karena pada dasarnya, Islam lahir dengan kedamaian bukan dengan watak teroris yang menakutkan. Bahkan Allah berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

“Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqoroh: 256)

Dasar Sikap Moderat

Melihat kembali pada catatan sejarah Nusantara, ternyata nilai-nilai koperatif-adaptif dan toleransi telah diimplementasikan secara nyata dalam penyebaran dan pengokohan agama Islam di bumi Nusantara oleh para pendakwahnya, yang lebih dikenal sebagai Wali Songo. Para Wali Songo lebih memilih bersikap koperatif-adaptif serta bertoleransi tinggi dalam metode dakwah mereka. Hal ini bukan tanpa alasan, adapatif, koperatif, dan toleransi adalah tiga ruh utama yang menjiwai paham moderat (tawassuth) yang merupakan salah satu prinsip dalam ajaran ahlus sunnah wal jama’ah. Dengan sikap moderat inilah, Wali Songo mampu mengikis budaya non-Islam dari Nusantara. Bahkan, dapat menyisipkan nilai-nilai keIslaman pada budaya yang telah ada.

Teladan Rasulullah

Jika diteliti lebih jauh lagi, sikap moderat yang didasari oleh koperatif, adaptif, dan toleransi, merupakan teladan dari baginda Rosulullah Saw. Dalam perjalanan dakwahnya, beliau tidak pernah memberikan paksaan. Beliau hadir dengan cara yang begitu arif dan damai. Syariat yang beliau bawapun— juga hadir dengan penuh kebijaksaan. Sedikit demi sedikit, mengikis juga budaya jahiliyah non Islam. Tidak semata-mata secara langsung dalam menghapusnya. Karena sesuai dengan fitroh manusia, segala hal akan menjadi berat dan menakutkan jika terjadi secara spontan. Berbeda jika terjadi secara bertahap.

Salah satu bukti konkrit yang menunjukkan kearifan Rasulullah Saw. dan risalah yang beliau bawa dalam menerapkan syariat saat mengikis budaya jahiliyyah non-Islam, adalah praktek naskh. Salah satu produk dari proses naskh adalah keharaman khomr (arak). Pada masa awal Islam, khomr merupakan salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari budaya jahiliyyah. Padahal, seperti yang diketahui saat ini, bahwa khomr adalah hal yang diharamkan. Namun, keharaman khomr ini tidak diterapkan oleh syariat secara seketika, melainkan dengan step by step (bertahap). Di antara ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan kronologi penerapan hukum haram pada khomr adalah sebagai berikut:
Ayat pertama terletak pada QS. An-Nisa’ ayat 43, yakni:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah mendekati sholat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu sekalian mengetahui apa yang kamu sekalian katakan” (QS. An-Nisa’: 43)

Ayat ini merupakan ayat tentang khomr yang pertama kali diturunkan oleh Allah swt. Ayat ini hanya mengindikasikan keharaman khomr dalam sholat saja, sedangkan di luar sholat hukumnya masih halal. Kemudian disusul dengan ayat berikutnya yang menaskh ayat di atas, yang terletak pada QS. al-Baqoroh ayat 219, yaitu:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

“Engkau (Muhammad) akan ditanyai mengenai khomr dan judi, maka katakanlah: keduanya mengandung dosa yang besar dan (juga mengandung) kemanfaatan bagi manusia. Adapun dosanya lebih besar daripada kemanfaatannya” (QS. Al-Baqoroh: 219)

Dalam ayat kedua ini, Allah swt. menyampaikan bahwa meminum khomr itu digolongkan perbuatan dosa, sehingga beberapa sahabat sudah tidak lagi meminum khomr meski beberapa yang lain masih meminumnya. Kemudian ayat inipun juga dinaskh dengan ayat yang terakhir turun mengenai hukum khomr, yang terletak dalam QS. Al-Maidah ayat 90, yaitu sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, khomr, judi, berhala, dan mengundi dengan panah hanyalah sebuah dosa yang termasuk amal syaithon. Maka jauhilah agar kalian beruntung” (QS. Al-Maidah: 90)

Ayat terakhir ini dengan tegas memberikan vonis hukum haram kepada khomr, sebagai tahap terakhir dalam penerapan hukum haram khomr yang dilakukan secara bertahap atau step by step. Selain itu, langkah step by step ini juga terbukti lebih ampuh dan lebih mengena pada sasaran daripada cara yang spontan.

Setidaknya, ada 2 hal yang mendasari hal tersebut, yaitu:

a. Suatu hal yang terjadi secara bertahap tidak akan memberatkan, sehingga tidak akan menyebabkan guncangan mental yang memiliki stigma negatif.

b. Suatu hal yang terjadi secara bertahap akan lebih menancap di dalam hati daripada sesuatu yang datang secara spontan. Seperti telah diketahui, bahwa kebanyakan hal yang datang secara cepat maka juga akan hilang secara cepat, berbanding lurus dengan cara kedatangannya.
Sehingga, bukanlah suatu kesalahan, menghadirkan Islam serta menerapkan syari’atnya di bumi Indonesia, khususnya di tanah Jawa, yang pada saat itu masih sarat dengan budaya mistik dan kejawen, dengan cara yang sama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW saat menghadirkan Islam di Jazirah Arab yang sarat akan budaya jahiliyyah.
Di sisi lain, syari’at Rasulullah saw. pun juga tidak sepenuhnya menghapus budaya jahiliyyah dan budaya agama sebelumnya. Hal ini terbukti dari beberapa syari’at Rasulullah saw. yang mengadopsi budaya-budaya yang telah ada sebelumnya, dengan menyisipkan nilai keislaman kedalamnya seperti Thowaf, Sa’i dan lain sebagainya. Bahkan adopsi syari’at ini juga termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, yakni dalam QS. Al-Baqoroh ayat 158, yaitu:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya (bukit) Shofa dan (bukit) Marwah termasuk tanda-tanda (kebesaran) Allah, siapa saja yang berhaji atau berumroh, maka tidak ada dosa baginya untuk bethowaf dengan kedua (bukit) tersebut. Dan siapa saja yang melakukan ibadah sunnah dengan (perkara) yang baik, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqoroh: 158)

Lantas hal ini, yakni adopsi budaya dan memasukkannya sebagai syari’at, tidaklah menjadikan Islam sebagai agama yang aneh, namun justru membuatnya menjadi istimewa dan berbeda dari agama-agama lain yang cenderung statis-dogmatis. Hal ini pulalah yang menjadi ibroh bagi para Wali Songo, yang notabene merupakan warotsatul anbiya’, untuk mengadopsi budaya setempat seperti adat telung dinanan, petang puluhan, tingkepan, wayang dan lain sebgainya dan menyisipkan kedalamnya nafas syari’at Islam.

Pada perkembangannya, tongkat dakwah Islam yang dimulai oleh Wali Songo terus-menerus berestafet dari generasi ke generasi. Metode dan sikap moderat Wali Songo secara terus-menerus diwariskan dan diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya. Metode Wali Songo inipun terus-menerus menguat seiring berjalannya waktu, sehingga metode dan sikap inipun menjadi sebuah karakter tersendiri bagi kehidupan religi Islam di Indonesia, yang biasanya dilabeli dengan “Islam Nusantara”.
Pada porsi realita, Islam Nusantara hadir dengan memberikan warna berbeda yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas toleransi yang menjadi salah satu pilar pembentuk Islam Nusantara, menjadi pendorong bagi umat Islam di Indonesia untuk menghormati berbagai keyakinan yang ada di Indonesia. Islam Nusantara juga memberikan pemahaman bahwa keutuhan, keamanan, dan ketertiban sebuah negara adalah poros untuk mencapai kehidupan yang baik dan layak, entah itu kehidupan religi, sosial, ekonomi, ataupun yang lainnya. Sehingga, Islam Nusantara lebih memilih untuk menjamin keamanan setiap individu yang berdomisili di Indonesia, meski tidak memiliki keyakinan yang sama, daripada menyulut konflik demi mewujudkan kepentingan sepihak. Jalur yang dipilih oleh Islam Nusantara ini pun juga bukan tanpa dasar. Opsi yang dipilih oleh Islam Nusantara ini diilhami dari keteladan Rasulullah saw. saat memimpin kota Yatsrib, yang sekarang lebih dikenal dengan kota Madinah Al-Munawwaroh. Dalam menjalankan roda kepemimpinan Yatsrib, Beliau memilih untuk menjaga perdamaian dengan kaum Yahudi daripada berkonflik dengan mereka. Bahkan, beliau membuat kesepakatan dengan mereka, yang termaktub dalam piagam Madinah, untuk bekerjasama dalam menjaga keamanan dan keutuhan kota Yatsrib. Berikut ini adalah beberapa kutipan dari piagam Madinah yang sangat fundamen yang menunjukkan kepedulian Rasulullah terhadap keutuhan negara:

Piagam Madinah Nomor:

Kedua pihak kaum Muslimin dan kaum Yahudi bekerjasama dalam menanggung pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama.

Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam perjanjian ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.

Islam Nusantara Potret Peradaban Madani
Islam Nusantara Potret Peradaban Madani

Baca juga: PENJELASAN ISLAM NUSANTARA

Simak juga: Pentingnya Menghafal Dasar-dasar Agama I Almaghfurlah KH. Aziz Manshur

Islam Nusantara Potret Peradaban Madani
Islam Nusantara Potret Peradaban Madani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.