Bulan suci Romadhon tinggal menghitung hari. Bulan dimana umat Islam diseluruh dunia menjalankan ibadah puasa. Namun dalam penentuan awal dimulainya ibadah puasa ini masih menjadi polemik lazim bagi masyarakat Indonesia.
Dalam Islam sistem penanggalan yang digunakan adalah penanggalan Qomariyah atau penanggalan berdasarkan perputaran Bulan. Sehingga dalam menentukan waktu dan momen-momen besarnya Islam mengacu pada pergerakan Bulan. Meskipun ada sebagian ritual ibadah yang justru menggunakan solar system atau mengacu pada pergerakan Matahari sebagaimanapenetapan waktu sholat.
Sedangkan dalam penentuan awal bulan suci Romadhon sendiri ada beberapa hal yang secara komunal harus kita upayakan (fardlu kifayah).
Yang pertama adalah Ru’yatul hilal atau melihat secara langsung adanya hilal. Meskipun apabila cuaca tidak memungkinkan untuk melihatnya seperti adanya mendung maka kewajiban itu beralih ke metode yang kedua yakni Takmil atau menyempurnakan bulan Sya’ban sebanyak 30 hari. Hal ini berdasar hadis Nabi Muhammad Saw:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian apabila melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya-lah) kalian, apabila telah melihat hilal. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bulan sya’ban itu sampai dengan 30 hari”. (HR. Bukhori)
Meskipun kini teknologi semakin canggih dan gawai semakin cerdas, juga berkembangnya aplikasi-aplikasi seperti aplikasi kalender Hijriah. Akan tetapi akurasi kalender digital belumlah cukup untuk menentukan awal dimulainya ibadah puasa. Karena jelas secara dalil bahwa penetapan ibadah puasa hanyalah menggunakan metode Ru’yah atau Takmil, bukan Hisab.
Selanjutnya setelah adanya Ru’yah dibutuhkan seseorang yang bersaksi bahwa ia telah melihat hilal. Sehingga dari persaksiannya inilah pihak pemerintah berhak untuk menetapkan awal bulan suci Romadhon.
Akan tetapi tidaklah setiap persaksian ru’yah akan langsung diterima, melainkan haruslah memenuhi beberapa ketentuan.
Syarat dan ketentuan yang pertama adalah Imkan Ru’yah Jika sekurang-kurangnya lima metode falak qath‘i (astronomi pasti) menetapkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat (di bawah ufuk), maka ketetapan tersebut menjadi acuan dalam menolak kesaksian ru`yatul hilal. Pendapat ini memiliki tingkat kepastian yang lebih tinggi dalam penentuan awal bulan hijriyah.
Adapun ketika hilal menurut Ilmu Falak berada di atas ufuk dan dipastikan terlihat, tetapi tidak seorangpun menyaksikan hilal dan ketika bulan berjalan digenapkan (ikmāl) akan mengakibatkan bulan berikutnya berumur 28 hari, maka Ilmu Falak dapat digunakan sebagai acuan dalam menafikan ikmal.
Penetapan ketinggian hilal di atas ufuk sebagai penanda imkan ru’yat bertujuan untuk mengakurasi penetapan awal bulan awal Ramadhan, awal Syawal, dan awal Dzulhijjah yang sangat terkait dengan kepentingan ibadah.[1]
Lihat Juga Menyambut Bulan Ramadhan
Lihat Juga Menyambut Bulan Ramadhan Di Kanal Youtube Kami
[1] MUNAS NU Komisi Al-Waqi’iyah Muktamar Ke-34 NU yang digelar di Pondok Pesantren Darussa’adah, Lampung Tengah