Tingkatan dalam Ranah Tasawuf

tealight-candle-on-human-palms-783200

Tingkatan dalam ranah tasawuf | Tasawuf adalah disiplin ilmu mengenai maqamat al-qulub wa ahwaliha, yakni ilmu yang memberikan jalan agar hati atau ruhani mempunyai maqam atau status. Dalam istilah tasawuf ada tujuh maqam yang dapat memberikan status pada ruhani, yang terdiri dari taubat, wara’, zuhud, sabar, faqr, tawakal, ridla, mahabbah dan makrifat. Semua sifat tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.

Tahapan yang pertama

Sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, takhalli adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Langkah awal dalam maqamat ini hati harus dikosongkan, ia disyaratkan terbebas dari kecintaan pada aspek duniawi seperti anak, istri, harta dan segala keinginan hawa nafsu. Sedangkan yang termasuk kategori takhalli adalah taubat, wara’, dan zuhud.

Taubat merupakan tiket pertama saat akan memasuki wilayah sufi. Setiap orang yang akan memperkaya hati dengan maqam kesufian maka harus diawali dengan pertobatan. Allah Swt. berfirman:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (Q.S. An-Nur [24]: 31)

Sikap dalam tobat ini harus diucapkan dalam hati yang tulus dan penuh keikhlasan, pengucapan secara lisan boleh-boleh saja, tapi tobat yang sebenarnya adalah dalam hati. Selain itu juga harus bertekad untuk berhenti dari perbuatan dosa serta berjanji untuk tidak mengulanginya kembali baik itu dosa yang disengaja ataupun tidak.

Kemudian setelah mendapatkan maqam taubat, orang tersebut akan memasuki maqam selanjutnya yaitu wara’. Maqam ini merupakan sikap selektif dalam segala tindakan yang akan dilakukan. Atau dalam istilah Jawa tidak sembrono, Hujjah al-Islam al-Imam al-Ghazali dalam masterpiece-nya mengingatkan:

أَنَّ الْوَرَعَ لَيْسَ فِيْ الْجَبْهَةِ حَتَّى تَقْطَبَ وَلاَ فِيْ الْوَجْهِ حَتَّى يَعْبَسَ وَلاَ فِيْ الْخَدِّ حَتَّى يَصْعَرَ إِنَّمَا الْوَرَعُ فِيْ الْقُلُوْبِ
Sesungguhnya sikap wira’i itu tidak ditampakkan pada jidat hingga membekas tidak pula di wajah hingga kusut, tidak pula di pipi hingga kusam, sikap wirai itu ada dalam hati.[1]

Tentunya, orang yang bersikap selektif tidak asal makan, asal pakai dan tidak asal ngambil. Sikap demikian harus diterapkan dalam berbagai hal, berucap, bergaul, dan lain sebagainya. Sebagai representasi dari firman Allah Swt:

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kauketahui.” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)

Setelah wara’ melekat, maka akan timbul zuhud (asketis). Zuhud berarti memandang rendah dunia dan tidak terikat padanya. Dalam hal ini, para sufi memandang dunia bukan sebagai esensi. Sebagaimana kata pepatah: “Urip ning dunyo mung mampir ngombe”. Artinya: Hidup di dunia hanya mampir ngaso (Jawa: Makan-minum). Ketika hati tersibukkan dengan kehidupan duniawi, maka saat ditinggalkan akan dihinggapi rasa sedih, sesal dan kecewa sehingga timbul penderitaan.

Tahapan yang kedua

Tahapan kedua adalah tahalli, yakni upaya pengisian hati yang telah dikosongkan. Hati yang telah kosong ini kemudian diisi dengan sabar, faqr, tawakkal dan ridla. Sabar yaitu menerima atau menjalankan segala tindakan dengan hati ikhlas. Termasuk sabar juga kekuatan dan ketangguhan hati dalam mencegah seseorang terjerumus pada perbuatan dosa. Mengenai keutamaan bersabar ini Allah Swt. berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 153)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.