Selain kiai dan ulama yang menjadi tombak terdepan dalam penyebaran syiar Islam, kita juga mengenal para habaib yang menjadi salah satu unsur yang harus kita ambil contoh sebagai suri tauladan. Di mana pun habaib berada, beliau selalu menjadi magnet yang menarik masyarakat di sekitarnya . Habib Syeikh bin Abdul Qodir As-Segaf adalah contoh hidup yang masih bisa kita lihat. Di mana pun beliau berada, beliau selalu menjadi pusat perhatian. Beliau (para habaib) memiliki suatu kelebihan yang membedakan dari orang-orang lainnya. Begitu juga dengan Syaikh Abdullah bin Husain bin Tohir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi pengarang kitab klasik legendaris; Sulam At-Taufiq.
Mengaji fikih di pesantren rasanya belum komplit jika belum pernah sekali pun mengkaji sebuah kitab yang dikarang oleh Syaikh Abdullah bin Husain bin Tohir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi ini.
Ba’alawi adalah nama sebuah marga dari Hadhramaut yang penisbatannya memiliki dua jalur. Pertama, jika merujuk pada makna umum adalah setiap orang yang dinisbatkan terhadap shahabat Ali RA lewat jalur Imam Husain RA. Dan yang kedua, jika ditinjau dari makna yang berlaku di masyarakat hadhramaut, adalah setiap orang yang dinisbatkan atau yang nasabnya bersambung pada Syaikh Alawi bin Abdillah bin Ahmad bin ‘Isa.
Walau ukuran dari kitab ini lebih kecil dari kitab-kitab fikih lainnya, namun kitab Sulam At-Taufiq masyhur dan umum kita dengar di kebanyakan pesantren di Indonesia. Kitab ini juga memiliki beberapa syarah atau komentar matan. Diantaranya adalah kitab Mirqootu Su’udu al-Tasdiq yang dikarang oleh ulama nusantara legendaris Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi.
Kitab ini memiliki beberapa keunikan yang membedakannya dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, yaitu daftar isi atau penyajian per-bab yang berbeda dari kitab-kitab fikih lainnya yang biasa dibuka dengan pembahasan thaharah, setelah itu diteruskan pembahasan ubudiyah seperti shalat, zakat dan sebagainya.
Namun tidak dengan kitab ini. Di awal bab, kita disuguhkan dengan sebuah pembahasan mengenai tauhid yang mencakup pada ‘aqoid lima puluh. Sebelum kita mulai masuk pada pembahasan thaharah yang nantinya akan bermuara pada bab ‘ubudiyah, kita terlebih dahulu diajak mushannif untuk mengukuhkan keislaman dengan mengenal beberapa perkara yang bisa saja membuat kita keluar dari Islam. Dalam kitab tersebut Mushonif menyinggung: “Di zaman ini banyak sekali orang-orang yang mempermudah dalam hal berbicara sehingga keluar dari mulutnya sebagian kata-kata yang membuat dia keluar dari Islam. Sedang ia tidak mengetahui akan hal tersebut.” Setelahnya mushonif menyadarkan para pembaca tentang hak-hak Islam yang harus dilaksanakan dan hal-hal yang harus ditinggalkan sebagai umat muslim:(faslun: fi adaail waajibaati wa tarkil muharromaati).
Barulah setelah hal-hal di atas telah selesai dipaparkan, mushonnif mulai menyampaikan penjelasan tentang fikih ‘ubudiyah. Mulai dari shalat (pembahasan thaharah, wudhu, dan tajhiizul janazah masuk pada bab shalat karena ketiga hal tersebut masih bagian dari pemabahasan yang berkaitan dengan ibadah shalat), lalu zakat, puasa dan yang terakhir adalah haji.
Setelah pembahasan fikih ‘ubudiyah yang diakhiri dengan ibadah haji telah selesai dijelaskan, mushonif melanjutkan pembahasannya dalam bab menjaga dari perkara haram dalam hal mu’amalah dan pernikahan. (faslun: fi wujuubi murooa’til halali wal haraami fil muaa’malati wal ankahati) yang mana akan berujung pada fikih ma’uamalah, yakni jual beli dan pernikahan.
Hal unik lainnya dalam kitab ini selain dalam hal urutan pembagian babnya yang tidak sesuai dengan kitab-kitab fikih lainnya adalah mushonif bukan hanya menyajikan pembahasan fikih yang berkaitan dengan praktik dan pelaksanaan dhahir. Akan tetapi mushonif juga menyuguhkan pembahasan tasawuf yang berhubungan dengan ibadah bathin dan perilaku hidup sehari-hari.
Setelah pembahasan mu’amalah selesai, pembahasan pun beranjak pada tasawuf yang dibuka dengan penjelasan beberapa sifat terpuji dan sifat tercela. kemudian pemaparan mengenai maksiat hati dan maksiat anggota tubuh besertaan dengan konsekuensinya, seperti kafarat dihar yang berhubungan dengan maksiat lisan, had mencuri yang berhubungan dengan maksiat tangan, dan lain sebagainya. Terkahir ditutup dengan pembahasan tentang tata cara taubat.
Dalam keseluruhan pembahasan yang disajikan mushannif dalam kitabnya. Mushannif bukan hanya menekankan pada pembahasan konsekuensi fikih yang mana akan berkesimpulan pada sah atau batal. Namun beliau juga menekankan unsur-unsur lainnya seperti tauhid, menjaga keislaman, dan juga tasawuf. Semuanya menuju pada sebuah kesimpulan, seorang muslim seharusnya bertindak selayaknya muslim. Yakni melasanakan ketentuan yang telah ditetapkan syariat, juga meninggalkan perkara yang memang telah dilarang oleh agama. Tidak hanya melakuan salah satunya saja. []
Baca juga: Amal Terbaik adalah Ketika Nafsu Membencinya.
Simak juga: Kenapa Harus Memondokan Anak?