Fikih secara khusus, dan syariat Islam secara umum—adalah derivasi praktikal dari al-Qur’an dan hadits. Kita sebagai pemeluk agama Islam tidak serta merta mampu melepaskan kesinambungan itu secara mutlak. Sebab bagaimanapun juga, fikih membutuhkan al-Qur’an dan hadits sebagai harga mati untuk acuan pertama.
Kitapun dalam bersyariat butuh akan bimbingan Nabi Muhammad Saw. dan beliau sebagai pembawa syariat, mutlak membutuhkan wahyu dari Allah Swt. Sang Pemilik Alam Semesta. Artinya, agama bukan produk sembarangan. Tidak bisa asal gagasan dan opini menciptakan adanya kebenaran mutlak di mata umat manusia, pada hakikatnya.
Tapi kemudian, perlu digaris bawahi jika ulamalah yang merumuskan adanya hukum baru. Mereka memakai gagasan ijtihad menggunakan akal—mengurai benang kusut, dan menghasilkan suatu kodifikasi yang juga dipraktikan dalam kehidupan bermasyarakat. Semacam solusi bagi permasalahan aktual yang tidak tertulis secara langsung dalam al-Qur’an dan hadits. Sebuah tuntunan hidup, muaranya tak pernah lepas dari al-Qur’an dan hadits.
Ijtihad
Nabi Muhammad Saw. dahulu memuji sikap Sahabat Mu’adz bin Jabal Ra. ketika hendak didelegasikan berdakwah ke negeri Yaman. Sahabat Mu’adz Ra. yang diberi amanat dan mandat menyebarkan Islam ini ditanyai oleh Nabi, “Bagaimana kamu nanti memberikan keputusan?” Sahabat Mu’adz menjawab, “Dengan apa yang tertera dalam Kitabullah.” Nabi kembali bertanya, “Jika tidak terdapat dalam Kitabullah?” Sahabat Mu’adz melanjutkan, “Dengan apa yang ada dalam sunnah Rasulullah.” Nabi pun kembali bertanya, “Jika tidak terdapat di dalam Sunnah?” Sahabat Mu’adz memberikan jawaban yang menggembirakan Nabi, “Aku berijtihad dengan pendapatku.”
Beliau memuji Sahabat Mu’adz yang lebih dahulu merujuk kepada al-Qur’an dan hadits sebelum memutuskan masalah lewat pendapatnya sendiri. Pendapat yang tentunya tak lepas dari garis pemikiran al-Quran dan hadits. “Alhamdulillah, yang telah memberikan taufiq kepada utusannya Rasulullah.” Sabda Nabi.
Islam sejatinya adalah kepatuhan secara mutlak. Ada semacam kaidah umum yang dipelopori oleh ulama, bahwa al-dîn mabniyy ‘alâ al-ittibâ’. Agama berpondasi di atas kepatuhan terhadap firman-Nya. Mushannif kitab Al-Asyâ’irâh fî Mîzâni Ahl as-Sunnah mengemukakan pendapat ulama Ahlussunnah tentang poin penting dalam Islam bahwa; ”Adapun ahli sunnah, mereka mengatakan bahwa pondasi dalam agama adalah mengikuti tuntunan Nabi, sedangkan akal hanya mengikuti pondasi ini. Andaikan saja pokok agama adalah akal, maka makhluk tak akan lagi membutuhkan wahyu dan para Nabi, hakikat perintah dan larangan akan sirna, dan siapapun orang akan mengatakan apa yang mereka mau. Dan andaikan saja agama berpondasi pada akal, sudah barang tentu tidak diperbolehkan bagi kaum Mukminin untuk menerima sesuatu sebelum mereka memikirkannya.”
Kita bisa meraih konklusi dari beberapa kejadian-kejadian yang terjadi di masa Nabi Muhammad Saw. Sebuah contoh kecil adalah tentang sholat dhuha, yang lebih baik jika dikerjakan hanya empat rakaat saja, dari pada bila kita kerjakan dua belas rakaat. Bilangan yang lebih banyak justru keutamaannya tidak lebih besar daripada bilangan yang lebih kecil. Padahal logikanya, kalau kita melaksanakan salat dengan kuantitas lebih banyak, akan mendapatkan lebih banyak pula fadhilah.
Kuncinya, adalah dulu Nabi selalu melaksanakan sholat dhuha ini sebanyak empat rakaat saja. Memang beliau pernah mengerjakan hingga delapan atau dua belas rakaat, tapi yang sering beliau lakukan adalah empat. Kita juga bisa melihat pendapat ulama yang mengatakan bahwa melempar jumrah sambil mengendarai unta lebih baik dari pada dengan berjalan kaki. Padahal logikanya jika kita berjalan kaki, kita akan lebih merasa kepayahan. Artinya ada esensi lebih dalam taraf ibadah kita. Namun dulu menurut riwayat, Nabi melempar jumrah dengan menunggang unta. Maka hal ini lebih utama dengan alasan ittiba’ menurut segelintir ulama.
Kita bisa menangkap esensi dari perkataan Sayyidina ‘Ali Krw.
وعن علي رضي الله عنه ، أنه قال : لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه ، وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه . رواه أبو داود ، وللدارمي معناه .
Dari Sahabat ‘Ali Ra., beliau berkata,“Andaikan saja agama hanya bermodalkan akal, niscaya bagian bawah muzah lebih patut untuk dibasuh dari pada bagian atasnya. Sedangkan aku melihat Rasulullah Saw. membasuh bagian atas kedua muzah beliau.” (HR. Abu Dawud)
Imam Abu Hanifah sendiri mengatakan, “Andaikan saja aku berpendapat (berijtihad) hanya dengan akal, pastinya aku akan mewajibkan mandi sebab kencing (bukan sebab keluarnya mani seperti dalam hadis Nabi), karena air kencing jelas najisnya. Mewajibkan wudhu sebab keluarnya mani sebab air mani hukum najisnya masih diperselisihkan. Dan aku akan memberikan harta warisan hanya separuh bagian dari perempuan untuk kaum laki-laki, sebab kaum perempuan lebih lemah .”
Tapi agama bukanlah masalah akal atau naluri. Agama adalah masalah kepatuhan. Demikianlah syariat, ia menguji kita akan seberapa besar nilai kepatuhan yang kita persembahkan kepada-Nya. Dan Allah lah yang berhak menilai kita atas seberapa besar himmah dan rasa peduli kita akan firman-Nya. Pada awal-awal Islam mulai tumbuh di negeri Makkah, Allah “menguji’ keimanan kaum Quraisy akan berita adanya hari akhir, dan kehidupan setelah mati. Sesuatu yang ditentang habis-habisan oleh kaum Musyrik. Namun kaum yang beriman tetap percaya.
Fikih barulah contoh kecil dari agama dan syariat. Masih banyak lingkup lain yang menggaris bawahi kaidah syari’at mabniyy ‘ala ittiba’. Seperti dunia tasawwuf sebagai contoh lain.
Pelajaran dan pesan penting yang ingin penulis sampaikan adalah dalam masalah agama, kita jangan mudah gegabah dan buru-buru mengambil keputusan dan kesimpulan. Harus lebih dulu memperhatikan betapa luasnya samudara agama Islam. Jangan-jangan yang kita ketahui baru segenggam atau bahkan hanya setetes dari lautan tersebut, lalu kita sudah berani berfatwa dan dengan mudahnya berani menyalahkan orang lain. Seolah kebenaran mutlak hanya ada pada hal yang kita tahu saja.
Dahulu para ulama dan sahabat berebut untuk menolak berfatwa. Mereka takut akan jawaban yang dikemukakan. Kelak jika dimintai pertanggung jawaban apa yang akan mereka katakan dihadapan Dzat Yang Maha Besar? Tapi hari ini, banyak dari kita yang dengan mantap dan percaya diri berebut untuk berfatwa dan menjadi pemimpin, meskipun sejatinya belum begitu bisa dikatakan layak secara kualitas.
Semoga saja kita termasuk yang mengikuti generasi salaf as-soleh yang do’anya tercantum dalam al-Qur’an,
آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ – آل عمران:53
“Kami beriman atas apa yang Engkau turunkan, dan kami mengikuti Rasul. Maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas keesaan Allah).” (QS. Ali Imran: 53).[]
Penulis: Muhammad Khoirul Wafa
Baca juga:
ATMOSFER ISLAM DI BUMI NUSANTARA
Follow juga ig:
@pondoklirboyo