Dalam kisah hidupku sampai saat ini, tak ada cerita yang menyenangkan. Setiap alurnya, aku selalu membencinya. Membenci setiap ceritanya. Engkau seharusnya mengerti, bukankah kau sendiri yang menciptakan gerak dalam kisah hidupku ini? Kau ciptakan aku sebagai lembaran-lembaran salaf , lembaran dengan makna yang tak pernah habis mereka kaji di sore senja. Bukankah seharusnya menyenangkan? Tapi entah kenapa kau ciptakan kisahmu ini begitu sedih. Cerita yang membosankan.
Bahkan untuk sampai saat ini, kau pun masih saja menceritakanku sebagai sesuatu yang terlupakan di sudut ini. Menunggu sampai berdebu.
“Tuhan! Sampai kapan kau ciptakan aku sebagai sesuatu yang harus terlupakan di sudut ini. Aku bosan. Bebaskanlah aku dari semua ini!”
Seperti itulah kau ceritakan aku meratap. Mati tertelan sepi.
Lalu tokoh “kita” yang kau ciptakan sebagai seorang yang telah membeliku setahun silam, entah kenapa pula engkau menjadikan kisahnya sebagai santri yang malas. Kau kisahkan hari-harinya hanya untuk menjejal rindu dari dan untuk seorang wanita yang dulu pernah berjanji untuk saling menjaga hati. Sangat membosankan.
Entah berapa lama sampai aku telah melewati hari-hari dalam kisah yang kau ciptakan ini. Kau ceritakan aku tetap terlupakan di sudut ini. Tempat yang kian berdebu. Lalu, tanpa sadar aku teringat bagaimana kau kisahkan ceritamu ini. Dahulu, kau kisahkan aku sebagai lembaran-lembaran kitab yang bahagia. Penuh makna. Saat itu pula, tokoh “kita” yang kau ciptakan sebagai pengembara ilmu tak lain adalah seorang santri yang rajin. Hari-harinya kau kisahkan dia dengan semangat di matanya. Sampai akhirnya wanita telah memaksanya untuk menelan pahit kerinduan, menciptakan garis-garis kesedihan. Tatap matanya hanya menyisakan perih, lantas meninggalkanku di sudut lemari ini.
“Kekasih! Rindu ini memaksaku untuk berjumpa, tapi raga teramat jauh. Kumohon, datanglah dan temani aku dalam mimpi indah ini.”
Ratapannya sungguh membuatku resah.
Apakah kau tahu? Sesekali aku berpikir ingin menjadi badut jenaka hanya untuk menghibur tokoh “kita” itu, mecampuri kisahmu dengan kebahagiaan. Sesekali pula aku membenci pun cemburu melihat cerita yang kau kisahkan sebelum aku. Kau kisahkan mereka penuh bahagia. Sedang aku, untuk kisahmu ini? Selalu air mata yang kau berikan.
Namun, aku tak pernah tahu seperti apa kau akhiri kisahmu ini. Aku akan tetap menunggu. Lalu mencoba merayumu dalam mimpi dengan kisah yang lain. Kisah yang lebih indah. Aku akan tetap bersabar menunggu kisah sendumu sampai menemui akhirnya.
***
Berminggu telah berlalu dalam penantian. Aku mulai sangat bosan, tokoh “kita” selalu saja bersedih, memandangi sebingkai wajah yang menjadi hulu dari segala dukannya.
“Kekasih! Sepertinya lukaku hanya bisa terbasuh oleh senyum indah itu. Kumohon, tersenyumlah.”
Ucapannya berhasil membuatku merasa jijik.
Lalu, di suatu hari kau kisahkan tokoh “kita” di cari oleh orang-orang berkemeja hitam. Aku mengenal mereka. Tanpa basa-basi, mereka membawa tokoh “kita” ke tempat yang tak pernah aku mengerti, karena kau tak pernah berkisah “kemana dia pergi”. Hanya menyisakan wajah “cemas”. Aku mulai khawatir.
Setelah itu, apa yang aku lihat? Rambutnya tak menyisa sedang resah tak juga hilang di balik pelupuk matanya. Kenapa semua ini bisa terjadi? Tapi dalam kisah yang kau ciptakan, kau masih menyembunyikan “sebabnya”.
Saat ini, aku kerap melihat tokoh “kita” berlama-lama mengais lamunan di sudut kamar ini. Entah hal apa yang terselip mengganjal pikiran sehatnya. Karena, kau pun tak juga menjelaskan.
“Sampai kapan dia melamun di sudut sana!” pikirku penuh tanya.
Namun, sekilat guntur membelah langit. Kau kisahkan dia beranjak, mengambil kopiah hitamnya yang kian lusuh. Meraih diriku yang kian usang termakan masa, membawaku pergi menjemput senja.
“Hey! Apa yang engkau rencanakan? Bukankah kisah ini seharusnya tetap menjadi duka?”
Tanyaku padamu, meski tak kau hiraukan. Namun, sepertinya aku tak perlu kejelasan darimu. Karena lihatlah! Kau kisahkan dia menyelipkan sebingkai wajah dalam lembaran-lembaranku. Wajah seorang ibu.[]
Oleh: Wahyudin bin Kholidin, kamar Q.09, santri asal Subang