Maulid Tidak Ada di Zaman Sahabat: Kenapa?

Budaya Maulid Nabi, dalam beberapa statemen yang ditulis para pakar sejarah, dipelopori oleh al-Muzhafar Abu Said (549-630 H/1154-1233 M) Raja Irbil, Baghdad. Ia adalah adik ipar panglima besar perang salib, Shalahuddin al-Ayyubi (532-589 H/ 1137-1193 M). Sampai sekarang, perayaan ini menjadi rutinitas tahunan di berbagai belahan dunia, termasuk Nusantara tercinta.

Para sahabat tentu waktunya banyak dihabiskan untuk berjuang bersama Rasulullah. Mereka menjadi saksi yang melihat langsung bagaimana Nabi Muhammad saw. berjuang dan berdakwah, bagaimana perjalanan kehidupannya, akhlaknya, kemuliaan-kemuliaan Rasulullah, dan bagaimana beliau merawat keluarganya. Sehingga, tak ada yang meragukan cinta para sahabat kepada Rasulullah. Bahkan nyawa merekapun dijadikan taruhannya demi menjaga, membela dan melindungi Nabi saw.

Maka tidak perlu lagi diceritakan perjuangan kisah hidup Rasulullah bagi para sahabat agar tumbuh cinta di hati mereka. Sehingga, bukan hal penting bagi para sahabat Nabi untuk membaca kisah-kisah hidup Rasulullah. Mereka sudah mengalami lika-liku hidup bersama Rasulullah. Lebih lengkap daripada apa yang dikisahkan buku-buku tentang kisah hidup Rasulullah. Sebaliknya, bahkan buku-buku kisah Rasulullah itu bersumber dari lisan-lisan mereka (para sahabat) yang kemudian ditulis oleh para ulama setelahnya.

Oleh karenanya, kitalah yang harus banyak membaca kisah-kisah hidup Nabi Muhammad saw., agar hati kita dipupuk dan dipenuhi cinta kepada Nabi Muhammad saw. Salah satunya adalah dengan memperingati Maulid Nabi saw., karena di dalamnya mengajak kita untuk menanam cinta kepada Nabi saw.

Dalam suatu riwayat, Abu Ubaidah bin Jarrah ra pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah saw., adakah orang yang lebih baik dari kami? (padahal) kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau”.

Beliau saw. menjawab, “Ada, yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku”.[1]

Rasulullah mencintai umatnya yang mencintai beliau saw., walaupun belum bertemu namun banyak bershalawat. Beliau dalam kesempatan lain bersabda, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.”[2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.