Jika di dalam hukum positif dikenal istilah spirit hukum, maka di dalam Islam akan ditemukan istilah maqashid syariah. Pada dasarnya, hukum-hukum di dalam Islam memiliki beberapa prinsip dan tujuan yang berusaha untuk diwujudkan. Secara umum, tujuan ini adalah maslahat bagi umat manusia.
Menerjemahkan maqashid sebagai tujuan dan mengartikan tujuan itu sebagai maslahat tidak lantas mendiktekan diri untuk mengikuti pendapat Muktazilah. Seperti yang jamak diketahui oleh pelajar ilmu kalam ataupun usul fikih, Muktazilah berpendapat bahwa diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan baik dan buruk yang dapat ditimbang oleh akal. Pendapat ini juga diamini oleh kelompok Maturidiyah—salah satu rujukan Ahlussunnah dalam persoalan ilmu kalam. Akan tetapi, Maturidiyah berseberangan dengan Muktazilah dalam konsekuensi setelahnya, yaitu dengan keberadaan baik dan buruk dalam perbuatan manusia, lantas apakah Allah harus melarang dan mencegah hal tersebut. Maturidiyah menyatakan tidak.
Sementara, Muktazilah menyatakan iya. Berbeda dengan keduanya, Asyari’ah—yang juga salah satu rujukan Ahlussunnah—menyatakan tidak ada sama sekali perbuatan yang baik ataupun buruk yang dapat ditimbang akal. Di sini, saya tidak akan berlarut-larut membahas perdebatan ini karena ketiga pendapat ini berakhir pada hilir yang sama yaitu keberadaan maslahat dalam syariat bahkan menurut Asyari’ah sekalipun. Bedanya, menurut Asyari maslahat itu ada karena pertimbangan syariat, sementara Muktazilah dan Maturidiyah menyatakan bahwa syariat datang untuk menjelaskan maslahat yang sudah ada.
Maslahat dalam Bangunan Syariat
Menegasikan maslahat dalam syariat sama dengan meruntuhkan bangunan syariah yang telah ada sampai sekarang. Bagaimana tidak, dalam usul fikih setiap mazhab mengenal istilah maslahat. Dalam konsep qiyas seumpama, pencarian ilat sangat tergantung pada pemahaman seorang mujtahid terhadap maslahat. Kesesuaian ilat dan hukum disebut juga dengan istilah munasabah. Kesesuaian ini juga harus dalam bingkai maslahat. Dengan hal ini pula, mujtahid dapat menyisir ilat yang termaktub dalam al-Quran maupun Hadits, atau biasa disebut dengan tanqîh al-manâth. Setidaknya ini yang disepakati dalam empat mazhab.
Mazhab Maliki adalah yang paling besar memberikan perhatian pada maslahat. Mereka menaruh konsep ini setidaknya dalam dua bab khusus, yaitu mashlahah mursalah dan sadd al-dzarâi’. Sementara mazhab Hanafi yang lahir lebih dahulu merangkumnya dalam konsep istihsân. Bukan tempatnya untuk membahas konsep-konsep tersebut di tulisan ini, akan tetapi setidaknya itulah gambaran nyata perhatian usul fikih terhadap konsep maslahat.
Namun demikian, pemahaman sebaliknya juga salah. Yakni memaksakan maslahat yang ditimbang oleh akal sehingga menabrak syariat. Terkait konteks ini, pakar usul menamakannya dengan munâsib mulgha atau mashlahat mulgha. Secara harfiah, kata ini berarti maslahat yang dibatalkan. Namun, sebenarnya bukan berarti syariat menentang sebagian keberadaan maslahat itu, hanya saja syariat menimbang adanya maslahat lain. Perlu dipahami bahwa sebagian besar syariat memiliki dua unsur, maslahat dan mafsadah. Al-Qarrafi mengatakan, “.. maslahat yang benar-benar murni sangat sedikit ditemukan.”
Ketika syariat memerintahkan sebuah maslahat, namun di sisi lain mengandung mafsadah bukan berarti dengan sengaja menginginkan terwujudnya mafsadah itu. Al-Syathibi mengatakan, “Ketika maslahat dimenangkan oleh syariat tatkala bercampur dengan mafsadah—dan ini adalah yang jamak terjadi, maka mafsadah atau penderitaan tersebut bukanlah tujuan dari perintah itu.”
Maslahat yang Sesungguhnya
Dalam konsep maqashid, tujuan yang dirumuskan syariat tidak hanya maslahat begitu saja. Maslahat yang dimaksud oleh syariat adalah maslahat hakiki yang abadi, bukan sekadar maslahat yang berarti asal senang dan bahagia. Al-Syathibi mengatakan, “Maslahat yang diwujudkan oleh syariat dan mafsadah yang dihindari haruslah dilihat dari sudut yang membangun kehidupan di dunia menuju kehidupan di akhirat. Bukan sekadar mengikuti nafsu yang mencari kesenangan sederhana. Syariat datang untuk menyadarkan manusia agar keluar dari hawa nafsunya menjadi hamba Allah.”
Apa yang telah saya paparkan di atas setidaknya menunjukkan bahwa syariat memiliki maslahat dan cara untuk mewujudkannya. Maslahat tersebut bukan sebagai lawan dari maslahat aqli, melainkan sebagai petunjuk mencapai maslahat hakiki. Terlebih, dengan kompleksitas maslahat dan mafsadah yang mendominasi dalam kebanyakan persoalan tentu petunjuk syariat mutlak dibutuhkan. Dalam usul fikih hal ini terbakukan dalam syarat i’tibârul mashlahah atau adanya perhatian syariat terhadap suatu maslahat.
Lebih lanjut tentang teori maqashid, ia terbagi dalam beberapa tingkat. Tingkat tertinggi adalah maqâshid ‘âmmah yang artinya universal dan dapat mengakomodir seluruh bab fikih atau setidaknya sebagian besarnya. Maqashid umum ini juga terdiri dari bermacam-macam maqashid. Di antaranya menjaga fitrah, toleran, dan keadilan.
Di bawahnya adalah maqâshid khâsshah yang hanya mengakomodir bab tertentu seperti perputaran uang dan transparansi dalam maqashid muamalah. Selanjutnya maqâshid juz’iy, yaitu ilat dan hikmah dalam setiap hukum syariat. Bisa dibilang, dua maqashid ini merupakan mekanisme terstruktur untuk mewujudkan maslahat umum. Sekali lagi, tulisan ini hanya menunjukkan bagaimana syariat menyusun maslahatnya. Sehingga tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang masing-masing dari tiga maqashid ini.
Skala Prioritas
Maqashid juga terbagi berdasarkan prioritasnya menjadi dlarûriy, hâjjiy dan tahsîniy. Dari ketiga prioritas ini, masing-masing memiliki mekanisme untuk mencapainya dan disebut juga dengan takmîliy. Menentukan prioritas dalam maqashid juga merupakan tujuan utama dirumuskannya ilmu ini. Prioritas tadi juga bisa ditilik dari besar kemungkinan tercapainya maqashid. Maqashid yang dipastikan dapat terwujud, lebih didahulukan dari maqashid yang masih berupa prasangka atau bahkan sekadar kemungkinan. Ibnu Asyur dalam kitabnya menekankan bahwa hukum tidaklah berada pada satu tingkatan. Terdapat skala prioritas dalam masing-masing dari kelima hukum. Misal, keharaman mencuri uang orang kaya tentu tidak sama dengan keharaman mencuri orang miskin.
Tujuan Mempelajari Maqashid al-Syar’iyyah
Mengetahui maqashid syariah tidak lantas mengantarkan orang untuk dapat membuat syariat atau hukum secara langsung. Hal ini seperti yang ditekankan oleh Imam Syathibi dalam Al-Muwâfaqât, “Tidak diperkenankan bagi orang yang membaca kitab ini memosisikan dirinya sebagai orang yang mencari pengetahuan praktis ataupun ingin memberikan pengajaran praktis. Sehingga, orang itu merasa puas dari mempelajari ilmu syariah—dasar dan cabangnya, yang diperoleh dari riwayat dan penalaran—tanpa sama sekali bertaklid dan menganut pada salah satu mazhab.”
Ilmu maqashid bukanlah ilmu tersendiri yang dapat langsung diterapkan begitu saja. Ilmu ini adalah pengawas dan kontrol bagi penerapan dan pengembangan syariat. Karena pada dasarnya, setiap hukum mengandung lebih dari satu maslahat dan bahkan juga mengandung mafsadah. Menentukan prioritas dan kategori maslahat syariat mulai dari tingkat umum (amah) sampai parsial (juz’iy) bukanlah hal sederhana.[]
Penulis: M. Ali Arinal Haq
Tentang penulis:
Merupakan Aktivis Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PCINU Mesir. Mahasiswa Al-Azhar, Kairo. Alumnus Pesantren Lirboyo mutakharijin 2016.
Subscribe juga:
Pondok Pesantren Lirboyo
# UPAYA MEMAHAMI KEMASLAHATAN SYARIAT ISLAM
# UPAYA MEMAHAMI KEMASLAHATAN SYARIAT ISLAM
# UPAYA MEMAHAMI KEMASLAHATAN SYARIAT ISLAM
alangkah indahnya tulisan-tulisan yang ada disertai sumber rujukan di bawahnya. jadi tidak diklaiim penalaran pribadi. keren …
Terimakasih..