Dari Mitos Menuju Logos | Tidaklah asing bagi telinga kita mendengar kata mitos dan logos (logika) dua kata yang sangat berbeda, dan saling bertolak belakang makna yang terkandung.
Istilah mitos yang sering kita ketahui diambil dari kata mite/myth yang berasal dari perbendaharaan kata Yunabi kuno, yakni muthos, yang berarti “ucapan” atau lebih dimengerti sebagai cerita rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh empunya cerita atau mempercayainya.
Dalam hal ini, (berkaitan dengan filsafat) dalam sejarahnya berawal dari kisah berubahnya orientasi kehidupan dari mitos menuju logos, yakni pola fikir yang terkutat pada narasi yang tidak rasional menuju pola fikir yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang logis (dapat diterima akal). Dari sinilah peran ilmu pengetahuan tumbuh dengan sangat pesat.
Sebagai contohnya, dalam mitos. Pelangi digambarkan sebagai dewa atau sesosok naga cantik yang sedang turun ke bumi guna mencari air untuk diminum. Sedangkan dalam Logos Anaxagoras berpendapat bahwa pelangi adalah pantulan dari matahari yang ditangkap oleh awan.
Berbeda halnya pendapat Xonophan yang mengatakan bahwa pelangi merupakan awan itu sendiri. Dua pendapat yang terakhir jelas bukan sebagai mitos, melainkan buah dari pemikiran. Pendapat ini dapat diteliti dan diperdebatkan yang mungkin apabila dibaca dengan teori-teori ilmiah, hal ini terasa “Artifisial”. Sedangkan Pelangi sebagai mitos, hanya diterima secara mentah sebagai perwujudan dewa. Dan dari sinilah kita tahu bahwa ilmu pengetahuan tumbuh dan berperan.
Namun, meskipun pola fikir mitos yang seperti terurai di atas, tidaklah dianggap relevan lagi pada zaman sekarang. Alih-alih sudah lenyap dari kehidupan manusia, ternyata belum. Mungkin harus kita akui, dalam kehidupan sehari-hari manusia seolah tidak dapat dipisahkan dari mitos yang ada di sekitar kita. Hanya saja bentuk dan modus keberadaanya berbeda-beda. Di masa kini, mitos bisa berupa cara pandang dan pola fikir yang “dibakukan” dan “disakralkan” sehingga penjelasan dan sudut pandang tertentu sebagai “pasti benar” dan “tidak boleh diubah”.
Dan akhirnya, dengan semangat berhijrah dari pola fikir mitos menuju logos, menjadikan kita lebih giat lagi dalam belajar dan mencari wawasan keilmuan lainnya. Kita sebagai santri dapat berperan dalam menjawab dan mengatasi problematika masyarakat yang kadang-kadang masih berkutat pada pola fikir mitos. Seperti dalam budaya jawa “Nak dino alangan (hari wafanya orang tua yang berdasarkan weton/pasaran, seperti: Rebo Wage) ora oleh lungo-lungo. Kudu ning omah, nek lungo-lungo bakale keno apes. Kita sebagai santri yang notabenya memiliki wawasan syariat yang lebih dalam. Sudah sepantasnya dapat bersikap dan menjawab mengenai persoalan ini.