Menelaah Dispensasi Syariat

  • Nasikhun Amin
  • Feb 14, 2017

Hidup di dunia merupakan dinamika kehidupan yang tidak pernah terlepas dari yang namanya keterbatasan. Kesulitan-kesulitan pun selalu setia mengiringi setiap perputaran roda kehidupan manusia.  Fenomena tersebut sudah menjadi realita yang terbantahkan lagi karena sudah menjadi sunnatullah yang tidak akan pernah sirna dari muka bumi.

Dengan memahami kenyataan demikian, syariat Islam tidak pernah lepas dari keterlibatannya untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi sedikit kesulitan dan keterbatasan yang dialami oleh manusia, terlebih lagi dalam masalah tatanan hukum agama. Karena agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan para pemeluknya, sesuai firman Allah SWT dalam Alquran:

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS al-Baqarah:185)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

 “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS al-Hajj:78).

Ayat-ayat di atas menjelaskan agama Islam tidak pernah menghendaki adanya kesulitan yang sangat memberatkan pengikutnya. Justru kemudahan dan kelonggaranlah yang selalu disuguhkan dalam mengimbangi berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Hal tersebut tentu dengan melihat kondisi objek hukum yang mengitarinya.

Andaipun terjadi juga kesulitan yang luar biasa, maka syariat memberinya sebuah dispensasi atau kelonggaran. Di samping itu, seluruh tuntutan hukum syariat pada dasarnya masih dalam batas kemampuan seorang mukallaf untuk melakukannya. Karena Allah SWT tidak akan membebani hamba-Nya diluar batas kemampuannya, sesuai dalam AlQuran:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْۗ

 “Allah tidak membabani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dia mendapatkan (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya” (QS al-Baqarah:286).

Sebagai jawaban atas problematika tersebut, rukhshah (dispensasi) merupakan salah satu bentuk nyata yang ditawarkan syariat sebagai formula untuk membantu umat manusia dalam menjalankan tatanan syariat demi terciptanya kemaslahatan umum (maslalah ‘ammah) sebagai khalifah di muka bumi.

Apa itu Rukhshah?

Secara etimologi, rukhshah memiliki arti kemudahan. Syaikh Zakaria al-Anshori dalam kitabnya, Lubb al-ushul, mendefinisikan rukhsah sebagai berikut:

وَالْحُكْمُ إِنْ تَغَيَّرَ اِلَى سُهُوْلَةٍ لِعُذْرٍ مَعَ قِيَامِ السَّبَبِ لِلْحُكْمِ الْأَصْلِيِّ فَرُخْصَةٌ

 “Hukum syar’i jika berubah menjadi ringan karena adanya udzur besertaan masih adanya sebab bagi hukum asal maka dinamakan dengan rukhshah”.[1]

Sebenarnya, andaikan kita menelaah beberapa referensi yang lain, sangat banyak sekali perbedaan pendapat para ulama dalam mengartikan rukhshah. Definisi semacam ini senada dengan konsep rukhshah yang diungkapkan oleh Imam Tajuddin as-Subki. Namun, mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan rukhshah dengan redaksi:

اَلْحُكْمُ الثَّابِتُ عَلَى خِلَافِ الدَّلِيْلِ لِعُذْرٍ

 “Sebuah hukum yang berlaku yang berbeda dengan dalilnya dikerenakan ada udzur”.

Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa tingkat kemampuan umat manusia dalam menjalankan seluruh hukum syariat sangatlah beragam. Perkara yang dilakukan seseorang dalam keadaan normal mungkin bagi orang-orang tertentu ataupun keadaan tertentu dirasakan begitu berat dan diluar kemampuannya. Karena itulah demi menciptakan kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah) bagi seluruh elemen kehidupan manusia, Allah SWT memberi berbagai macam dispensasi dan kelonggaran terhadap pihak-pihak tertentu untuk menjalankan hukum syariat yang berbeda dengan ketentuan hukum secara umum. Sehingga fenomena penerapan beberapa hukum yang tidak sesuai dengan dalil asalnya tidak dapat dihindari lagi.

Dalam kitab Mizan al-Kubro, Imam as-Sya’roni memaparkan pembagian dua tingakatan dalam menempatkan tuntunan syariat. Golongan pertama adalah golongan yang kuat untuk menjalankan tuntutan-tuntutan yang berat, golongan kedua adalah golongan yang menjalankan tuntutan-tuntutan yang ringan dan penuh dengan toleransi. Beliau juga menggarisbawahi, bagi tingkatan yang kuat tidak diperbolehkan mengamalkan pendapat-pendapat yang lemah. Begitu juga sebaliknya, bagi tingkatan yang lemah tidak dituntut untuk melakukan tuntutan yang berat sebagaimana tingkatan pertama.

Dengan demikian, dapat dipahami  bahwa bentuk kelonggaran dari syariat ini merupakan sebuah pengecualian dari hal-hal yang dilaksanakan sesuai dengan konteks hukum asalnya. Dan juga bentuk kemurahan Allah SWT terhadap hamab-Nya, terutama ketika kondisi tidak memungkinkan melaksanakan ‘azimah (hukum asal) ibadahnya.

Sebab dan Pembagian Rukhshah

Legalitas sebuah rukhshah yang diberikan oleh syariat merupakan alternatif ketika umat muslim menemukan kesulitan maupun hambatan dalam menjalankan syariat. Dengan demikian, ada beberapa keadaan tertentu yang hanya bisa mengantarkan seseorang untuk mendapatkan dispensasi tersebut.

Dalam beberapa literatur kitab Qowaid al-Fiqh, beberapa keadaan dan kondisi yang menjadi sebab bagi seorang muslim mendapatkan dispensasi ada 7, yaitu terpaksa (ikrah), lupa (nisyan), ketidaktahuan (jahl), kesukaran (‘usr),  perjalanan (safar),  sakit (marodl), dan sifat kurang (naqsh). [2]

Karakteristik dan pola pelaksanaan dalam berbagai macam syariat Islam sangatlah beragam. Hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap konsep rukhshah yang akan diberikan ketika ditemukan kendala-kendala yang menghalanginya.  Sehingga, apabila ditinjau dari segi bentuk keringanan yang diberikan, rukhshah terbagi menjadi tujuh macam, yaitu: takhfif isqot (keringanan dalam bentuk meringankan kewajiban), takhfif tanqish (keringanan dalam bentuk mengurangi kewajiban), takhfif ibdal (keringanan dalam bentuk mengganti kewajiban), takhfif taqdim (keringanan dalam bentuk mendahulukan kewajiban), takhfif ta’khir (keringanan dalam bentuk mengakhirkan kewajiban), takhfif tarkhish (keringanan dalam bentuk kemurahan dalam kewajiban), takhfif taghyir (keringanan dalam bentuk mengubah kewajiban).

Dispensasi Sebagai Solusi

Merupakan sebuah keniscayaan bahwa perubahan sosial, perkembangan teknologi, kemajuan ekonomi, dan beberapa aspek kehidupan lainnya menuntut suatu panduan rohaniah yang memiliki relevansi erat dan melekat dengan masalah-masalah nyata  yang akan terus menerus muncul seiring dengan perkembangan peradaban manusia.

Apabila syariat (fikih) gagal melayani kebutuhan pokok ini dengan pendekatan kontekstual yang dinamis, dapat dipastikan bahwa umat manusia akan semakin terjauhkan dari nilai transedental, yang pada gilirannya akan memunculkan watak dan sikap sekuler. Dengan demikian, seiring dengan perkembangan zaman yang semakin menjauh meninggalkan masa keemasan Islam, semakin jauh pula animo masyarakat untuk tetap konsisten menjalankan syariat Islam.

Salah satu hal yang menjadi pemicu terjadinya hal tersebut adalah penerapan hukum syariat dirasakan memberatkan sehingga masyarakat tidak mampu menjalankan bahkan ada kecondongan untuk meninggalkan.

Oleh karena itu, hal terpenting yang dibutuhkan oleh masyarakat yang telah silau dengan gegap gempita modernitas di zaman sekarang ini adalah, sebuah solusi yang meringankan sebagai upaya menggugah hati para masyarakat untuk senantiasa menjalankan segala kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat Islam secara konsisten dan seimbang. Terkait dengan hal tersebut, Nabi telah bersabda:

مَنْ وَلَّى مِنْ أَمْرِ أُمَّتِيْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ

 “Barang siapa memimpin urusan umatku sekecil apapun kemudian dia memberatkannya maka beratkanlah (Ya Allah) urusannya” (HR. Muslim)

يِّسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا

 “Permudahlah dan jangan mempersulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat orang lari” (HR. Bukhari)

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan ia kepada kemudahan)” (HR. Bukhari)

 اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ,مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

 “Diceritakan dari sahabat Abi Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Ketika kalian semua diperintah untuk melakukan suatu hal, maka maka kerjakanlah semampu daya dan upaya kalian semua” (HR. Bukhari Muslim).

Walhasil, salah satu karakteristik yang menonjol dalam ajaran Islam adalah mudah dan tidak mempersulit umat. Konteks ini mudah dijumpai saat seseorang menemukan keterbatasan dan kesulitan dalam menjalankan syariat. Kehadiran rukhshah atau dispensasi sebagai tawaran dalam menghilangkan atau mengurangi beban menjadi solusi berarti dalam mengentas problematika tersebut. Sehingga tak ayal lagi, ajaran Islam sangat mudah diterima dan berkembang di tengah-tengah poros kehidupan yang serba kompleks dan beragam. Dengan relevansi dan kelenturan hukum ini pula, substansi dari legislasi syariat tetap berjalan dan tumbuh sebagai pelita dalam merajut kemaslahatan umat manusia. waAllahu a’lam… []

 Penulis: Nasikhun Amin

 [1] Thoriqoh al-Hushul ‘Ala Ghoyah al-Wushul, hal 40, Mabadi’ Sejahtera.

[2] Al-Fawaid al-Janiyyah, juz 1 hal 192-196, maktabah al-Bidayah.

0

Post Terkait :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.