Ihwal maha penting inilah yang kemudian dibawa oleh para penyampai pesan Tuhan saat mereka perlahan menjejakkan kaki di tanah-tanah asing nan jauh. Tanah-tanah asing itu bisa kita sebut beberapa: Afrika, Andalusia, India, hingga Nusantara. Penyebaran pengetahuan-pengetahuan agama Islam (baca: dakwah) ke tanah Nusantara dijalankan oleh orang-orang terpuji, yang dengan tulus dan halus mengurai pengetahuan itu kepada masyarakat Hindu-Budha. Kita biasa menyebut mereka Walisongo. Beragam cara bijak mereka pertimbangkan agar ajaran-ajaran yang mereka bawa dapat diterima dengan legawa oleh masyarakat.
Dalam menghadapi kebudayaan Nusantara yang sudah sangat tua, kuat dan mapan, Walisongo menyadari bahwa Islam tidak bakal bisa diperkenalkan dengan serta merta dan instan. Karenanya mereka kemudian merumuskan strategi jangka panjang. Termasuk, memberi perhatian lebih pada pendidikan anak-anak. Bukan masalah jika harus mengenalkan Islam sejak dini. Sebab, mereka merupakan masa depan bangsa.[1]
Usaha ini menggapai kesuksesan yang luar biasa. Masyarakat kemudian mau menerima agama baru itu dalam riwayat kehidupan mereka. Sebenarnya, dalam setiap mengadopsi agama baru, masyarakat Nusantara, sesuai wataknya, harus merenungkannya dalam waktu lama dan menggunakan pemikiran dengan tenang dan akurat.[2] Namun, agama baru yang dibawa Walisongo ini justru dapat diterima dengan baik dan cepat. Ini tak lepas dari kemampuan Walisongo dalam memformulasikan nilai-nilai sosio-kultural religius yang dianut masyarakat Syiwa-Budha dengan nilai-nilai Islam.[3] Formulasi ini berlaku pada banyak sekali aspek penularan ajaran-ajaran. Mulai dari nilai-nilai pengetahuan yang diajarkan, hingga penghargaan tinggi kepada guru ruhani (guru pangajyan).
Ajaran Islam yang menuntut seseorang untuk mendambakan pertemuan sejati dengan Tuhan, nampak selaras dengan apa yang telah menjadi obyek pencarian pengetahuan masyarakat Syiwa-Budha sebelumnya. Aspek pendidikan keduanya lebih dititikberatkan kepada pembentukan watak dan budi pekerti siswa-siswa yang ditandai oleh lulusan-lulusan berwatak mulia, cerdas, berbudi pekerti luhur, serta selalu bersyukur dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan.[4]
Zamakhsyari Dhofier (2011: 46) menilai, sesuai tradisi pesantren, pengetahuan seseorang diukur oleh jumlah buku yang telah dipelajarinya dan kepada ulama mana ia telah berguru. Secara tidak tertulis, ada kitab-kitab yang disepakati oleh lembaga-lembaga pesantren untuk dijadikan standar penguasaan keagamaan, di samping terdapat budaya pengembangan diri dalam cabang pengetahuan tertentu. Dengan demikian, kekhususan pengetahuan seseorang dapat terbina dengan baik, dengan tetap menjaga homogenitas pandangan hidup pesantren.
Masa-masa ketentraman pendidikan Islam di Nusantara (baca: pesantren), dengan berbagai nilai benar dan bijak ini mulai terusik ketika pada akhirnya para bangsa lain, terutama Kerajaan Belanda, masuk dan menjajah. Imunitas mereka yang kuat sehingga mampu bertahan ratusan tahun itu, diuji besar-besaran.[]